Hujan Pertama Dini Hari
Senin, 08 Januari 2018
8 Komentar
Malam ini tidak seperti biasa. Rembulan yang
tubuhnya mulai sabit juga tidak seperti biasa. Kemarin malam, lusa malam, dan
malam-malam sebelumnya Rembulan selalu terlihat berendam di telaga. Mengapung
dalam dinginnya air malam, sementara cahayanya melebur keemasan.
Rupanya malam
ini, Rembulan sedang tiduran malas di kayangan. Berselimut awan kelabu, kumal,
yang sepertinya menghangatkan. Penghuni telaga yang tidak tahu menahu soal itu,
tentu saja heran.
“Bukankah malam
ini belum waktunya tanggal baru?” kata seekor ikan penuh keheranan.
“Malam ini memang
belum,” Sahut yang lainya.
“Lalu bagaimana
bisa, Rembulan tidak berendam di telaga, apa dia lupa, atau apa dia sedang
malas turun?”
“Mungkin saja Rembulan
pergi ke telaga yang lebih besar, dan lebih indah. Atau mungkin dia sedang
berselancar di lautan. Atau mungkin juga sedang jalan dengan kekasihnya.”
“Mungkinkah?”
“Mungkin. Bukankah
segala sesuatu bisa mungkin? Sudahlah lebih baik malam ini kita tidur yang
nyenyak saja. Barangkali rembulan esok akan datang lagi dengan alasannya.”
“Ah.... tidur. Mataku
ini sulit terpejam.”
“Dasar......mata
ikan.”
Air telaga malam
ini benar-benar gelap, hanya riak air meraih bibir telaga saja yang terdengar,
itupun hanya terdengar, tanpa terlihat.
Mendekati dini
hari, butir-butir kecil air turun ke bumi dalam gerimis. Hujan bersamanya,
bersama gerimis, turun menyatu dengan air telaga, menyesaki jalanan, membasahi
tanaman, pohon-pohon, serta rerumputan yang mulai semu kuning. Ini adalah
pertama kalinya hujan turun lagi ke kampung Lungur Buntung, setelah beberapa waktu yang
sebenarnya tiada terlalu lama. Enam bulan barangkali, atau tujuh, tujuh
setengah bulanan kira-kira.
Hujan senang
bukan kepalang kali ini. Betapa tidak? Selama masa kemarau lalu, ada seorang
pemuda, gagah, rupawan, dan giat bekerja, yang selalu merindukan hujan.
Kerinduannya begitu tulus, tiada yang lebih tulus darinya perihal kerinduan
terhadap hujan, barangkali. Mungkin saja pemuda itu juga mencintai hujan.
Sangat mencintai. Setiap hari, kurang lebih sampai tiga kali dalam sehari,
pemuda pemilik puluhan kambing dan macam-macam tanaman tersebut, selalu berdo’a
meminta hujan. Begitu yang diketahui hujan dari Mikail si pembagi rezeki.
Malam itu, Hujan
berkeliling. Menyusuri sudut-sudut pemukiman, gang-gang, kebun, hutan milik
jawatan, melewati beberapa wanita separuh baya menggendong rinjing--berisi
pisang, ada juga yang berisi singkong, dan gaplek yang dibungkus plastik merah
besar--menuju Pasar Desa, adapula bapak-bapak yang memikul kelapa, yang
berjalan lebih dibelakang. Orang-orang memang sering pergi ke pasar pagi-pagi
sekali, bahkan dini hari. Andaikata mereka
kesiangan ke pasar, seringkali dagangan mereka tidak laku, atau dibeli
murah pedagang kota. Sementara pedagang kota yang memiliki mobil ompreng itu,
akan menjualnya lebih mahal di kota. Memang begitu adanya, para petani harus
berjuang keras untuk imbal sesuap nasi.
Hujan melewati
para pejalan kaki itu dengan isyarat simpul senyuman, hormat, serta maaf karena
telah membuat basah. Tapi para pejalan kaki itu tidak melihatnya. Mereka hanya
melihat hujan sebagai hujan, bukan yang lainnya. Dengan menutupi kepala mereka
dengan daun lembeng, atau pisang, muka mereka malah nampak padam, dan sedikit
kecewa dengan datangnya hujan kali ini. Padahal ini hujan pertama kali.
Orang-orang memang terkadang begitu, lupa mensyukuri rahmat yang telah diberi.
Semakin pagi, dan
hujan juga berada di sekeliling rumah pemuda yang selalu merindukannya itu. Air
hujan mengguyur genteng, menggenangi pelataran, sampai mengalir ke
selokan-selokan. Hujan semakin tidak sabar rasanya untuk segera melihat pemuda
itu.
Tidak begitu
lama, hujan masih saja asyik mengguyur semesta, dan pemuda itupun mulai membuka
pintu rumahnya. Berjalan pelan menuju serambi. Kemudian melekatkan tubuhnya
pada salah satu tiang serambi rumah. Mukanya sedikit masam dan hanya terdiam.
pemuda itu terlihat tidak begitu bahagia, begitupun hujan yang juga mulai
sedikit kecewa.
“Ah....hujan.
kenapa hujan pertama harus datang sepagi ini?” keluh pemuda tersebut dalam
hati. Pemuda tersebut terlihat sedikit kecewa, hujan lebih kecewa. Karena
walaupun itu gumaman dalam hati, berkat izin-Nya hujan bisa mengetahui.
“ bagaimana aku
akan pergi ngunduh Kapulaga?
Bagaimana juga aku cari pakan kambing-kambingku? Belum juga bapak-ibuku pergi
kepasar. Pasti mereka basah kuyup. Ah....hujan, tak tau diri.”
Hujan kini
benar-benar kecewa. Namun, hujan tidak marah, pun membentak. Hujan tahu, semua
itu tidak berhak adanya. Hujan meleleh, arinya semakin deras, juga angin yang
datang mendoron-dorong rintikan hujan membasahi serambi. Pemuda itu mundur
mepet ke tembok.
“Ah...manusia.
memang suka lupa diri kalau sudah diberi. Bukankah selayaknya bersyukur sebagai
rasa terima kasih atas rahmat-nya? Ah manusia, tak tau diri.” gumam hujan
sembari pergi kembali ke kayangan.
Hujan benar-benar
pergi, sementara rintikan airnya semakin deras mengguyur, angin, juga muncul
guntur dan kilat melengkapi keadaan.
Njawol, 8 Januari 2018
Test
BalasHapusNice artikel gan..!
BalasHapusThank.... gan
BalasHapuscerita yang menarik
BalasHapusAlur cerpennya bagus 👍
BalasHapusAda satu kalimat yang bikin mesem sendiri ngebacanya " Dasar ... mata ikan "
Bener juga,yaaa ....... kalo diamati mata ikan itu ngga pernah merem , hahahaha 😃
Hehehe..... iyaa kak
HapusPemuda yang katanya rindu. Ah,tak tau diri! Wkwk
BalasHapusOrang-orang memang terkadang begitu, lupa mensyukuri rahmat yang telah diberi. Pesannya dapet bgt
Hahaha.... Trimakasih kak
HapusTabiiiiiik